SUMENEP | Forumkota.com – Maraknya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tertanggal 1 Januari Tahun 2024, tercatat ada sekitar 7.452 korban yang diantaranya 1.630 korban laki-laki dan 6.568 korban perempuan yang notabenenya anak di bawah umur dengan rata-rata berumur 13-17 tahun dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) di Indonesia.
Teranyar, kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan oleh oknum Guru Ngaji yang sempat bikin heboh publik Kabupaten Sumenep beberapa hari yang lalu dikabarkan telah diselesaikan secara persuasif (Problem Solving) oleh Pemerintah Desa (Pemdes) setempat.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Mahasiswa Universitas Wiraraja (Presma Unija) Sumenep, Tolak Amier merasa berang dan mendesak aparat Kepolisian Resort (Polres) Sumenep tetap melaksanakan penegakan hukum sesuai aturan perundang-undangan terkait peristiwa dugaan tindak pidana pencabulan di Desa Pangarangan tersebut.
Presma Unija mengatakan bahwa berdasarkan hasil investigasinya di lapangan, dugaan tindak pidana kekerasan seksual berupa pencabulan yang diduga dilakukan oleh oknum Guru Ngaji dan Ketua RT sekaligus pejabat publik terhadap 5 (lima) korban perempuan anak di bawah umur tersebut terjadi di salah satu musholla yang berlokasi di Jalan Jati Emas, RT 008, RW 003, Desa Pangarangan, Kecamatan kota, Kabupaten Sumenep.
” Namun mirisnya, dugaan tindak pidana kekerasan seksual tersebut tidak tersentuh oleh hukum, karena adanya campur tangan dari salah satu oknum ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kabupaten Sumenep yang diduga menjadi bumper dalam proses perdamaian antara oknum pelaku dan keluarga dari korban tindak pelecehan seksual itu, sehingga perkaranya tidak sampai bergulir pada jalur hukum,” ujar mahasiswa yang akrab disapa Amier itu. Selasa (14/05).
Seharusnya, kata Amier, oknum guru ngaji yang diduga kuat melakukan tindak kekerasan seksual wajib diberikan sanksi (hukuman) pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai bentuk kebijakan hukum atas kejahatan yang dilakukannya.
Pasalnya, tingkah laku manusia yang bejat, jahat, immoril, dan anti-sosial membuat masyarakat marah dan menimbulkan kejengkelan di kalangan masyarakat dan sangat merugikan umum.
” Karenanya, kejahatan terhadap anak dibawah umur yang notabene adalah regenerasi bangsa jangan dibiarkan terus berkembang dan bertumbuh di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu tindak kekerasan seksual harus diberantas demi ketertiban, keamanan, dan keselamatan masyarakat,” tegasnya.
Koordinator Kajian Isu dan Aksi Strategis BEM Sumenep itu mengajak masyarakat sumenep secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bahkan lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain untuk menanggulangi kejahatan sejauh mungkin.
” Dengan demikian untuk dapat menanggulangi tindak kekerasan seksual, maka diperlukan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual dengan cara memberikan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan untuk memberikan efek jera terhadapnya, sehingga dapat mengurangi sejauh mungkin tindak kekerasan seksual terhadap anak yang sangat banyak menimpa anak-anak di Indonesia,” tambahnya.
Selanjutnya, berdasarkan pasal 7 ayat (2) Jo Pasal 23 Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang TPKS, bahwa tindak pidana terhadap kekerasan seksual yang korbannya adalah penyandang disabilitas atau anak merupakan delik umum (delicta communia). Dan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
” Langkah mediasi yang diduga dilakukan oleh oknum ketua AKD Kabupaten Sumenep dengan dihadiri oleh pelaku, orang tua korban, oknum aparat kepolisian, dan TNI jelas batal demi hukum, karena bertentangan dengan ketentuan aturan perundang-undangan,” jelasnya.
Sehingga, lanjut Amier, Anggota Reskrim Polres Sumenep wajib melakukan proses tindakan hukum secara profesional terhadap perkara tersebut sebagai langkah pencegahan represif untuk memberikan efek jera terhadap oknum pelaku dan meminimalisir maraknya terjadi tindak pidana kekerasan seksual di Kabupaten Sumenep.
” Dan diduga pelaku melanggar Pasal 76 E Jo Pasal 82 ayat (2) dan (3) UURI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar,” imbuhnya.
Selain hal di atas, Presma Unija Sumenep juga mengultimatum Polres Sumenep apabila tidak melakukan proses hukum secara profesional terkait dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum Guru Ngaji berinisial R itu.
” Apabila dalam jangka waktu 2×24 jam Polres Sumenep tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Maka, BEM-KM Wiraraja Madura akan mengambil langkah tegas berupa audiensi atau bahkan aksi demonstrasi di depan Mapolres Sumenep,” tandasnya.
Berikut Ini Tuntutan Dari BEM- KM Wiraraja Madura Terkait Dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pencabulan) Kepada Polres Sumenep dan Pemkab Sumenep:
1. Mendesak Polres Kabupaten Sumenep untuk Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan kasus kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Oknum guru ngaji dan ketua RT sekaligus pejabat publik Tersebut.
2. Dinas Sosial P3A Kabupaten Sumenep dan Stakeholder terkait wajib melakukan penanganan, perlindungan dan pemulihan terhadap korban sesuai dengan pasal 67 Jo pasal 73 Undanga-Undang No 12 Tahun 2203 tentang TPKS.
3. Berikan sanksi hukum yang seberat-beratnya kepada oknum inisial R yang diduga sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dan ;
4. Berhentikan atau copot dari jabatannya oknum pelaku yang diduga sebagai pejabat publik di salah satu instansi Pemerintah Kabupaten Sumenep.
Sementara sampai berita ini dinaikkan, belum ada keterangan secara resmi dari pihak Polres dan Dinas Sosial dan P3A Kabupaten Sumenep.